Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif
Pada Modul 1.1 berisi Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Modul 1.2 tentang nilai dan peran guru penggerak. Sementara Modul 1.3 tentang visi guru penggerak. Modul 1.4 berisi Budaya Positif. Keempat modul memiliki saling keterkaitan. Modul 1.1 dan 1.2 adalah dasar untuk mewujudkan budaya positif di sekolah. Sedangkan modul 1.3 merupakan strategi untuk melakukan perubahan menuju budaya positif.
Budaya positif merupakan salah satu jenis tuntunan pendidikan bagi murid. Tujuannya adalah untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Menjadi pembelajar sepanjang hayat yang berprofil pelajar Pancasila.
Budaya positif dapat terwujud dengan adanya lingkungan yang nyaman dan aman bagi murid. Budaya positif dikembangkan oleh semua warga sekolah dengan menerapkan nilai-nilai berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif, dan inovatif.
Budaya positif dikembangkan untuk mewujudkan visi. Seorang guru penggerak diharapkan mampu menjadi pelopor perubahan. Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan memiliki visi yang jelas. Usaha pencapaian visi dapat mendorong kolaborasi dan menggerakkan komunitas di sekolah. Dengan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis aset, mengidentifikasi hal baik yang ada di sekolah dan melakukan upaya untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik.
Guru penggerak bersama seluruh warga sekolah dapat membuat prakarsa perubahan dengan pendekatan BAGJA. Pendekatan inkuiri apresiatif berbasis kekuatan untuk terus berubah ke arah yang lebih baik lagi.
Untuk menciptakan budaya positif di sekolah, kita memerlukan lingkungan yang positif. Dipelukan kesadaran akan pentingnya kerja sama warga sekolah. Seluruh warga sekolah harus dapat saling belajar dan berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Semua melakukan pembiasaan-pembiasaan disiplin positif yang berkelanjutan, sehingga dapat memunculkan karakter yang baik. Kebiasaan baik yang melekat sebagai budaya positif berdasarkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini. Pembiasan disiplin positif dengan menanamkan nilai-nilai kebajikan akan memunculkan keyakinan yang kuat dari dalam diri anak untuk berperilaku atau disebut sebagai motivasi internal, yaitu sebagai upaya untuk menghargai diri sendiri.
Ketika anak berperilaku dengan motivasi untuk menghargai diri sendiri ini akan memperkuat konsep diri, karena kontrol berada pada diri mereka sendiri, anak tidak akan mudah terpengaruh dari luar dan akan senantiasa fokus pada nilai yang diyakini. Beberapa dari mereka melakukan perilaku karena dua alasan, yakni untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman dan karena menginginkan penghargaan. Adakalanya anak perlu untuk terbuka dan menerima motivasi eksternal itu karena kesadarannya sebagai makhluk sosial dan kebutuhannya untuk dihargai. Namun penghargaan dan hukuman ini tidak dapat berlangsung lama dalam memotivasi anak untuk berperilaku karena tidak menumbuhkan kesadaran diri.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar
Dewantara menyatakan bahwa “dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada
disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu
kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama
saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah
penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di
dalam suasana yang merdeka. Jika anak belum
memahami nilai-nilai kebajikan sehingga belum mampu untuk mengontrol
diri sendiri atas perilakunya, maka anak perlu dorongan dari luar yang datang
dari guru, keluarga, dan lingkungan untuk membantunya menggali keyakinan dan
menemukan motivasi internalnya sehingga anak dapat mengembangkan potensi
dirinya dengan kedisiplinan yang dilakukan karena kesadaran diri.
Praktik pendisiplinan di sekolah dengan restitusi merupakan metode untuk penyusunan kembali model disiplin di sekolah, dengan mengajak murid untuk mengidentifikasi kembali tindakannya, sehingga dia bisa menganalisis dan memikirkan langkah yang tepat dalam pemecahannya. Konsep restitusi dapat membangun disiplin positif di sekolah dengan membantu memahami perilaku anak dan membangun hubungan yang lebih baik antara guru dan murid sehingga tercipta suasana belajar yang nyaman.
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) memberikan strategi untuk restitusi dengan menerapkan segitiga restitusi, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Menstabilkan identitas bertujuan mengubah identitas anak yang bersalah dari orang gagal menjadi orang sukses, dengan memberikan pemahaman bahwa kesalahan merupakan bagian dari pembelajaran. Sehingga murid tidak berlarut dalam kesedihan dan perasaan bersalah tanpa upaya memperbaiki diri dan keadaan.
Pada tahap kedua, guru harus memahami alasan atau kebutuhan di balik
perilaku murid. Perlu pemahaman bagi guru dan murid untuk mengenali kebutuhan
dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain karena semua
orang memiliki kebutuhan dasar bertahan hidup, cinta dan kasih
sayang, penguasaan, kebebasan, dan kesenangan. Tahap ketiga, yaitu menanyakan
keyakinan dengan menuntun murid memasuki kesadaran moralnya atas nilai-nilai
kebajikan yang diyakini dan menjadi kesepakatan bersama. Tidak berhenti pada
kesadaran akan kesalahannya, namun memberikan ruang kepada murid untuk
memberikan solusi yang lebih baik. Disinilah posisi kontrol guru sangat
berperan, apakah sebagai penghukum, pembuat rasa bersalah, teman, pemantau,
atau manajer.
Dengan mensosialisakan dan
memberikan pemahaman pemecahan masalah dengan restitusi kepada murid,
diharapkan akan membantu mewujudkan kepemimpinan murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar